Ejaan dalam Cakep Malayu: Rasionalisasi

Artikel ini ditulis dalam bahasa Melayu/Indonesia, untuk artikel dalam Cakep Malayu dapat dilihat di sini! 


Seperti yang telah kita tahu, Cakep Malayu itu bersifat non-fonetis. Ertinya, apa yang ditulis tidak sama dengan apa yang dibaca. Hal ini sama seperti dalam bahasa Inggris. Contoh dalam bahasa Inggris “science” dibaca “saɪns”, “queue” dibaca “kʰju”, dan lain sebagainya. Begitu pula dengan Cakep Malayu. Contoh, “cakep” dibaca “cakap”, “baheru” dibaca “baʁu” dan lain sebagainya.


Untuk merasionalisasikan alasan mengapa kami memakai sistem non-fonetik ini, mari kita bahas sedikit mengenai sejarah perubahan bunyi dalam bahasa Inggris.


Jika anda bertanya-tanya mengapa bahasa Inggris “berlainan” antara yang ditulis dan dibaca, tentu ada jawapannya. Hal itu terjadi bukan kerana nenek moyang orang Inggris berkelagakan, alay (berlagak artis), atau lebay (berlebihan). Namun itu karena ejaan bahasa Inggris berasal dari penyebutannya pada masa Inggris pertengahan. Pada masa itu, bahasa Inggris dibaca persis sama seperti apa yang ditulis. Contoh, kata “light” dibaca “liçt”, “here” dibaca “hɛrɛ”, “knife” dibaca “knifɛ” dan sebagainya.


Namun, seiring berjalannya waktu, terjadi perubahan pengucapan dalam bahasa Inggris. Orang Inggris semakin “malas” mengucapkan kata-kata dan banyak huruf yang disenyapkan (silent letter). Contoh “light” dibaca “laɪt” (bunyi gh hilang), “here” dibaca “hiɹ/hiᵃ” (bunyi e di hujung hilang), “knife” dibaca “naıf” (bunyi k dan e hilang), dan sebagainya.


Meskipun pengucapannya telah berubah, namun orang-orang Inggris tetap mempertahankan ejaan bahasanya dari masa lampau tersebut. Inilah asal-usul mengapa bahasa Inggris menjadi bahasa yang berbeza antara penulisan dan pengucapan. Para bahasawan sering menyebut ejaan bahasa Inggris mengalami “frozen in time” atau beku dalam waktu.


Memakai analogi yang sama, maka di sini kami memakai ejaan proto-Malayik dalam Cakep Malayu. Mengapa ? bercermin dari bahasa Inggris, kami melihat ada beberapa keuntungan dari pemakaian bahasa non-fonetik, yaitu:

  1. Meningkatkan toleransi antar pembicara
  2. Melestarikan fonologi masa lampau
  3. Memacu peningkatkan literasi
  4. Dapat melainkan perkataan yang sebunyi.


1. Meningkatkan Toleransi Antar Pembicara

Seperti yang kita tahu, suatu bahasa yang besar tentu akan terpecah menjadi banyak dialek, seperti misalnya bahasa Inggris. Namun, dengan sistem non-fonetiknya, bahasa Inggris mampu menyatukan para pembicara dalam ejaan bersama, sehingga mereka memiliki toleransi yang cukup tinggi terhadap perbezaan dialek. Contoh, ketika orang Amerika berkata “waᵈəɹ” dan orang Britania berkata “wɔtʰa”, mereka dapat saling paham satu sama lain, karena mereka tahu bahwa meski mereka menyebutnya berbeza, namun mereka menulisnya dalam bentuk yang sama, yaitu “water“.

Ketika kita lihat bahasa-bahasa Malayik, maka kita sadar bahawa kelainan pengucapan antara bahasa Malayik tidaklah jauh berbeza. Namun, karena masyarakat Malayik terbiasa dengan ejaan yang fonetik, maka perbedaan itu semakin berasa bertikas (kontras). Dengan memakai ejaan proto-Malayik, maka semua perkataan dieja berdasarkan ibu bahasa dari semua bahasa Malayik, dan dapat diucapkan sesuai dengan dialek Malayik masing-masing sehingga meningkatkan kesalingpahaman antar pembicara. Contoh ketika seorang pembicara mengucapkan “aiᵃ”, dan seorang lagi mengucapkan “aɛʁ”, keduanya dapat saling paham karena mereka tahu kata tersebut ditulis dengan cara yang sama, yaitu “air“.


2. Melestarikan Fonologi Masa Lampau

Dengan memakai ejaan proto-Malayik, maka generasi muda Melayu akan mengetahui bagaimana perkataan tersebut diucapkan pada masa lampau sebelum akhirnya berubah seperti yang diucapkan pada saat modern. Hal ini sama seperti yang terjadi pada pembicara bahasa Inggris saat ini, meskipun mereka sekarang membaca “know” sebagai “no̞w” namun mereka tahu bahwa pada masa lampau kata tersebut memang dibaca “kno̞w” (dengan k dibunyikan).

Sama dalam Cakep Malayu, meskipun kini kata “duaalapan” dibaca “dəlapan” atau “lapan“, namun generasi muda akan selalu tahu bahawa dahulu perkataan tersebut memang dibaca “duaalapan“.


3. Memacu Peningkatan Literasi

Jika kita melihat suatu perkataan dalam bahasa Melayu atau bahasa Indonesia, kita segera tahu bagaimana cara mengucapkannya. Contoh kata “persetujuan”, kita tahu bahawa kata ini diucapkan “pərsətuɟuan”. Namun ketika kita melihat suatu perkataan Inggris, contoh “archive” apakah kita tahu cara membacanya? Mungkin bisa dengan cara menebak-nebak. Kita bisa menebak bahwa cara membacanya adalah “aɹʃif” atau “aɹciv”. Namun ketika ada seseorang yang memberitahu kita bahwa kata “archive” tersebut dibaca “əɹkaɪv”, tentu kita akan terkejut bukan?

Keuntungan dari bahasa non-fonetik adalah orang-orang harus giat belajar agar dapat mengetahui bagaimana cara mengucapkan suatu perkataan dan cara mengejanya. Hal ini tentu akan meningkatkan tingkat literasi masyarakat, karena mereka tidak ingin malu hanya karena tidak bisa mengeja atau mengucapkan suatu perkataan (terutama kata-kata yang umum). Contoh, kata “pandihayan” dalam Cakep Malayu dibaca “pənᵈajan“. Jadi ketika melihat kata “pandihayan” secara otomatik penutur Cakep akan membacanya “pənᵈajan“. Satu-satunya cara untuk mengetahui ini adalah dengan rajin menulis, membaca, dan berkomunikasi dengan penutur Cakep lainnya sehingga secara langsung meningkatkan literasi masyarakat.


4. Dapat Melainkan Perkataan Yang Sebunyi

Dalam suatu bahasa, tentu banyak perkataan yang memiliki bunyi yang sama namun memiliki erti yang lain. Kata-kata seperti ini disebut sebunyi atau homofon. Contoh dalam bahasa Inggris “eye” dan “I” kedua-duanya dibaca “aɪ”. Contoh lagi, kata “nose” dan “knows” kedua-duanya dibaca “no̞s“. Dari dua contoh ini kita tahu bahwa kedua kata yang sebunyi hanya dibezakan dari konteks saat perbualan maupun tulisannya. Kita dapat bayangkan jika bahasa Inggris ditulis secara fonetik, maka akan muncul banyak kebingungan, sebab dalam bahasa Inggris banyak sekali kata sebunyi seperti ini. Dengan ditulis berlainan, maka kata tersebut dapat dibezakan.

Meskipun bahasa Melayu tidak memiliki banyak kata sebunyi seperti bahasa Inggris, namun pada dasarnya ada beberapa kes seperti ini, yang mana ada kata dengan bunyi yang mirip. Contoh “lihat” dengan “liat” dan “baharu” dengan “baru” (nama pohon), “kasih” (cinta) dengan “kasi” (beri, bagi) dan sebagainya. Kemiripan bunyi ini semakin banyak bahkan pada bahasa Malayik-malayik yang lain. Dengan melestarikan ejaan proto-Malayik, maka kata-kata ini dapat dibezakan karena keduanya mesti dieja secara berbeza.


Baiklah, itulah sedikit rasionalisasi dari kami mengapa kami memilih untuk memakai sistem non-fonetik dalam Cakep Malayu, yaitu memakai ejaan proto-Malayik. Terima kasih sudah membaca.

Hendaklah engkau sihat selalu.

Tiada ulasan:

Dikuasakan oleh Blogger.