Mengapa “di-‘ Dieja “nai-” dalam Cakep Malayu?
Artikel ini ditulis dalam bahasa Melayu/Indonesia, untuk artikel dalam Cakep Malayu dapat dilihat di sini!
Bahagian 1 : dari *ni- menjadi *di-
“di-“dalam bahasa Melayu dipakai sebagai penanda bentuk pasif, namun asal-usul *di- dalam bahasa Melayu masih menjadi misteri dan perdebatan di kalangan bahasawan. *di- tidak ditemukan dalam bahasa-bahasa Austronesia yg tidak mendapat pengaruh bahasa Melayu secara intensif, ini menunjukkan bahwa *di- adalah fitur baharu yg dikembangkan secara internal dalam bahasa Melayu, dan bukan diturunkan dari bahasa proto yang lebih tua.
Bentuk paling tua *di- didapati dalam bahasa Melayu tua *ni-, yang fungsinya sama dengan *di- dalam bahasa Melayu moden.
Sehingga kita dapat simpulkan *di- berasal dari Melayu kuno *ni-. Namun, asal-usul *ni- ini pun masih diselidiki oleh bahasawan dan beberapa hipotesis telah diajukan.
Bahagian 2: asal-usul *ni- menurut usulan yang sudah ada dan pembantahan dari kami
Salah satu usulan yg cukup populer adalah *ni- berasal dari sisipan *-in- dari proto Austronesia. Namun, kami melihat ini tidaklah mungkin dan menolaknya. Alasan kami;
Perubahan suatu sisipan menjadi imbuhan sangatlah tidak wajar, dan tidak pernah terlihat dalam kes lain dalam bahasa Melayu maupun bahasa Austronesia lain.
Bunyi *-in- & *ni- jauh berbeza, mungkin seakan-akan ini metatesis dalam pandangan sistem tulisan alfabet, namun Melayu kuno tidak mengenal alfabet. Sistem tulisan mereka adalah abugida (huruf pallawa), dan kedua bunyi ini ditulis dengan cara yang berbeza (tidak seperti dalam alfabet yang hanya perlu ditukar posisi).
Bunyi *-in- & *ni- jauh berbeza, muŋkin seakan2 ini metatesis dlm sense sistm tulisan alfabet, namun old Malay tdk mengenal alfabet. Sistm tulisan mrka adlh abugida (hrf pallawa), & kedua bunyi ini ditulis dgn cara yg brbeza (tdk sprti dlm alfabet yg hanya perlu tukar posisi).
Bahagian 3: rekonstruksi Adelaar dan ketidakuniversalan *di-
Adelaar (1992) merekonstruksi ni- hingga ke tingkat proto-Malayik, namun menurut kami rekonstruksi ini tidaklah valid kerana bentuk turunannya (di-) tidak universal dalam bhsa2 Melayik.
Salah satu bhsa Melayik yg tidak mengenal bentuk pasif ini adalah bahasa Urak Lawoi’.
Dalam rekonstruksinya Adelaar tidak mempertimbangkan Urak Lawoi’ sehingga ia tidak melihat ketidakuniversalan ini.
Jika fitur *ni- berasal dari proto-Malayik, seharusnya semua bahasa Melayik memiliki refleksinya dan fitur ini tidak mungkin hilang, kerana fitur ini sangat umum dan sering dipakai. Namun, yg kita lihat justru sebaliknya.
Ketiadaan fitur *ni- / *di- dalam Urak Lawoi’ menunjukkan bahwa fitur ini adlah fitur yg relatif baharu dan tidak sampai / belum ada pada proto-malayik.
Bahagian 4: usulan oleh @cakepmalayu untuk asal-usul *ni-
Dalam kajian kami, bukti paling penting untuk asal-usul *ni- adalah dari bahasa Urak Lawoi’ dan bahasa Minangkabau.
untuk menyelami asal-usul ini, kita perlu melihat bentuk pasif lain dalam bahasa-bahasa Malayik.
Meski Urak Lawoi’ tdk mengenal bentuk pasif *di-, namun bentuk lain yang mendekati bentuk pasif adalah dengan memakai kata “kena”.
contoh:
Melayu vs Urk Lawoi’
dimakan : kena makat
disepak : kena sipaʔ
Kata “kena” ini pun sebenarnya juga sering digunakan dalam bahasa Melayu Johor-Riau dalam percakapan sehari-hari untuk mengganti imbuhan *di-.
Dalam Minangkabau, meski juga mengenal bentuk *di-, namun terdapat bentuk yg lebih arkaik, yaitu dengan memakai kata “kanai”.
contoh ayat
urang tu kanai tangkok
(orang itu ditangkap)
manggaletang inyo kanai galatiak
(meronta ia digelitik)
Kata “kanai” jelaslah berasal dari kata kana (kena) + akhiran i. Akhiran *i ini terfosilisasi dan menyatu menjadi “kanai” dalam bahasa Minang. Fungsi “kanai” sama persis dgn fungsi “kena” dalam bahasa-bahasa Malayik yang lain.
Jika kita perhatikan baik-baik, maka kemungkinan dalam proto-Melayik, bentuk pasif dibuat dengan cara menambah “kenai” di depan verb.
kenaimakan (dimakan)
kenaisipak (disepak)
kenaibunuh (dibunuh)
Lama kelamaan, menurut perkiraan kami, dalam Melayu kuno *ke- di depan hilang dan *nai- dipersingkat menjadi *ni- seperti contoh perubahan berikut:
kenaimakan → naimakan → nimakan
kenaisipak → naisipak → nisipak
kenaibunuh → naibunuh → nibunuh
Bahagian 5 : bukti pendukung untuk asal-usul *ni- dari *kenai-
kami meŋusulkan *ni- brasal dr *kenai- berdasar asumsi2 brikut:
*kenai- & *ni- memiliki fuŋsi sama / hampir sama, & turunan bentuk *kenai- ada pd bhs2 Mlyik lain (sprti Urak Lawoi’, Minaŋ, & Johor-Riau casual)
Bunyi *ke hilang
Bunyi *nai tereduksi menjadi *ni
Asumsi no. 2 berdasar pada kecenderungan penghilangan bunyi *ke- pd bahasa2 nusantara,
contoh:
kepala → pala (casual Mly, dari Sanskrit)
kenapa → napa (Betawi)
kedondong → dondong (Jawa)
Asumsi no.3 berdasar pada penghilangan bunyi *a yg mengikuti suatu konsonan pada awalan apabila bertemu dengan vokal/semivokal pada bahasa Melayu:
contoh;
ma + inum → mainum → minum
sa + ini → saini → sini
ka + ini → kaini → kini
ka + (w)iri → kairi → kiri
dan banyak contoh lain,
dari ini, maka sangat mungkin jika *nai berubah jadi *ni
Bahagian 6 : Kesimpulan
Dari kajian kami, kami simpulkan *di- sebagai imbuhan penanda pasif berasal dari old Malay *ni-, & old Malay *ni- berasal dari Proto-Malayik *kenai-.
Kerana itu dalam Cakep Malayu, imbuhan di- dieja sebagai “nai-“. Namun, cara membacanya tetap “di”.
❗Idea *ni- berasal dari *kenai- yang kami sampaikan adalah gagasan original dari Cakep Malayu. Jika anda ingin mengutip idea ini, terutama jika memuatnya dalam artikel / jurnal ilmiah, mohon untuk menghubungi kami dahulu sebagai bentuk etika saintifik.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan